PERUBAHAN PARADIGMA PEMBELAJARAN DI KURIKULUM MERDEKA

Penulis: Saifuddin Alif Nurdianto, S.Pd., M.Pd.

Guru Sejarah

Konsep kurikulum yang kemudian diterjemahkan dalam seperangkat program belajar telah menjadi aspek integral dari pendidikan selama berabad-abad. Dalam bentuknya yang paling sederhana, kurikulum mengacu kepada pengetahuan dan keterampilan yang diharapkan diperoleh pembelajar selama bersekolah. Dalam bentuknya yang lebih kompleks, kurikulum mengacu kepada seperangkat skema pembelajaran yang disusun secara sistematis untuk tujuan pendidikan. Tujuan mendasar dari disusunnya kurikulum adalah untuk membentuk pembelajar menjadi individu dengan kompetensi
personal dan sosial yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Di abad 21 kurikulum tidak saja disusun sebagai alat untuk menyampaikan ilmu pengetahuan, tetapi juga memberikan panduan tentang bagaimana membentuk pembelajar sehingga dapat berkarya dan ikut membangun masyarakat melalui ilmu pengetahuan yang dimiliki (Tyler, 2013).

Kurikulum disusun dengan semangat untuk memperbaiki kualitas pendidikan di suatu institusi pendidikan. Semangat itu disebut sebagai landasan filosofis kurikulum yang kemudian bertransformasi menjadi sebuah paradigma proses pembelajaran yang akan diterapkan di kurikulum itu. Paradigma proses pembelajaran menjadi satu hal yang paling esensial dalam penyusunan kurikulum karena dari sinilah konstruksi suatu kurikulum dibentuk. Paradigma ini mengacu kepada prinsip-prinsip dasar, keyakinan, dan nilai-nilai yang ada di masyarakat yang menjadi obyek penerapan kurikulum. Bagi masyarakat multikultur seperti Indonesia, paradigma proses pembelajaran harus mencerminkan komitmen terhadap keberagaman dan bersifat inklusif sehingga semua pihak merasa dihargai dan dapat berpartisipasi penuh dalam proses pembelajaran.

Terdapat tiga paradigma proses pembelajaran yang secara umum diterapkan di era modern untuk membekali pembelajar agar memiliki keterampilan abad 21, yaitu progresivisme, konstruktivisme, dan humanisme. Progresivisme memiliki konsep yang didasari oleh kepercayaan bahwa manusia memiliki kemampuan unik untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Konstruktivisme memiliki konsep bahwa pengetahuan dapat tumbuh dan berkembang melalui pengalaman. Adapun humanisme memiliki konsep bahwa setiap pembelajar memiliki potensi diri yang dapat berkembang dan dikembangkan (Festiyed, 2018).

Ketiga paradigma pembelajaran modern ini tidak ada yang paling baik dan paling buruk. Ketiganya tergantung pada kondisi dari pembelajar yang menjadi obyek dari kurikulum. Misalnya kurikulum 2013 dengan paradigma konstruktivisme, pembelajaran dilakukan menggunakan pendekatan saintifik untuk semua mata pelajaran. Pembelajaran di kurikulum 2013 secara umum berfokus pada kegiatan intrakurikuler atau tatap muka, sementara kegiatan kokuler tidak diwajibkan serta dibatasi maksimal 50% di luar jam intrakurikuler (Pratycia et al., 2023). Kurikulum 2013 ketika itu disusun untuk membentuk pembelajar menjadi pribadi yang religius, produktif, inovatif, dan mampu berkontribusi pada kehidupan bermasyarakat. Karakter dan pembentukan pribadi yang utuh (insan kamil) menjadi fokus dari disusunnya kurikulum 2013 (Kemendikbudristek, 2013).

Tidak ada yang salah dari tujuan disusunnya kurikulum 2013, tetapi kondisi dunia berubah, pola pikir pembelajar yang berasal dari generasi Z juga berubah. Pandemi covid 19 juga ikut berkontribusi terhadap perubahan pola pikir dan pola perilaku pembelajar. Oleh karena itu, diperlukan kurikulum baru yang lebih sesuai untuk menjawab tantangan zaman. Zaman baru yang dimaksud adalah globalisasi di mana digitalisasi menjadi stimulus bagi setiap warga negara untuk bersaing secara global. Oleh karena itu, kurikulum 2013 dinilai tidak relevan lagi untuk zaman yang serba digital ini. Selain itu, telah terjadi lost learning dan lost generation akibat pandemi covid 19 yang melanda dunia tahun 2019-2022. Lost learning adalah berkurangnya pengetahuan dan keterampilan pembelajar secara akademik yang berimplikasi pada hilangnya kualitas dari suatu generasi (lost generation) akibat kurang optimalnya layanan pendidikan selama pandemi (Warsono et al., 2021).

Pemerintah Republik Indonesia melalui Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) menyikapi perubahan pola pikir dan pola perilaku pembelajar di Indonesia  dengan menyusun kurikulum baru dengan nama kurikulum Merdeka. Titik tekan dari kurikulum ini ada pada keragaman minat dan bakat dari setiap pembelajar. Kemendikbudristek mengubah paradigma pembelajaran dari konstruktivisme menjadi humanisme di mana pembelajaran yang terdiferensiasi menjadi fokus utama. Tujuan dari pembelajaran ini adalah untuk membekali pembelajar agar mampu tumbuh dan berkembang sesuai dengan bakat dan minat yang dimiliki. Menggunakan konsep dari Ki Hajar Dewantara, kurikulum merdeka dirancang untuk membentuk pembelajar sesuai dengan kodrat diri, kodrat alam, dan kodrat zamannya. Prinsip-prinsip humanisme yang mencakup etika, rasionalitas, demokrasi, dan hak asasi manusia, serta penghargaan terhadap kreatifitas juga ditekankan di kurikulum merdeka ini.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *